Selasa, 05 April 2016

SIMON DAN SIKUR



SIMON DAN SIKUR

            Di sebuah hutan hiduplah seekor kura-kura yang bernama ‘SIKUR’. Sikur bergerak sangat lambat di daratan, namun saat berada di dalam air sikur bisa bergerak cepat dengan mengandalkan kemampuan berenangnya.
            Pada suatu pagi saat sikur sedang asyik bermain bersama teman-temannya, sikur melihat monyet yang bernama ‘SIMON’ sedang kebingungan karena ingin mengambil pisang diseberang sungai tetapi simon tidak bisa menyebrangi sungai tersebut. Lalu sikur mendatangi simon
Sikur              : “Hai simon, mengapa wajahmu terlihat sedih dan murung?”
Simon                        : “Eh sikur, iya memang aku sedang bersedih karena aku ingin sekali pergi ke seberang sungai ini untuk mengambil pisang di seberang itu, tetapi aku tidak bisa berenang. Saat ini aku sedang membutuhkan bantuan. Bisakah kau membantuku sikur?” Tanya simon.
Sikur              : “Baik simon, akan kubantu kau menyebrangi sungai ini. Tetapi berikan setengah dari pisang yang kau ambil itu kepadaku. Aku akan membagikannya kepada teman-temanku”
Simon                        : “Baiklah sikur, akan kubagikan setengahnya padamu”
Sikur              : “Bisakah kau berjanji padaku simon?”
Simon                        : “Iya sikur aku janji”
            Sikurpun membantu simon menyebrangi sungai itu. Simon naik di punggung sikur dengan santainya. Mereka bergerak dengan sangat cepat. Setelah sampai di seberang sungai, simon langsung lompat dan berlari ke pohon pisang itu. Dengan lambatnya sikur mengikuti simon.
            Setelah sampai di pohon pisang itu, simon langsung memanjatnya dan memakan banyak sekali pisang tanpa mempedulikan sikur. Sikur pun geram pada simon.
Sikur              : “Hai simon, mana janjimu? Berikan setengah pisang itu padaku!”
Simon                        : “Hai sikur, aku tidak akan memberikan padamu, enak saja kamu!”
Sikur              : “Baiklah jika kau tidak mau memberikannya padaku, aku akan meninggalkanmu mon! Silahkan kau kembali ke daratan tanpa bantuanku!”
Simon                        : “Yasudah, kau tinggalkan saja aku disini! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!, aku akan menikmati semua pisang yang ada di pohon ini, akan kuhabiskan semua pisang ini. Aku tidak akan kembali ke daratan lagi!”
            Sikur pun meninggalkan simon dengan perasaan marah. Tidak lama kemudian semua pisang di pohon itu habis dimakan oleh simon. Setelah beberapa hari, simon pun kelaparan. Karena tidak ada yang akan dimakan oleh simon, simon pun bingung bagaimana ia bisa makan.
            Simon kemudian mencari-cari sikur untuk mendapatkan bantuannya agar bisa kembali ke daratan tempatnya berasal.
Simon                        : “Sikur.... Sikur.... Dimanakah kau? Sikur.... Sikur....”
Dari kejauhan, sikur mendengar teriakan simon tetapi sikur tidak mau menolong simon karena sikur sudah sangat marah pada simon.
Simon                        : “Sikur.... Tolonglah aku Sikur... Saat ini badanku lemas, aku tidak makan beberapa hari. Sikur.... tolong Sikur...”
            Karena melihat simon yang kelaparan dan badannya yang lemas, sikur pun merasa iba pada simon.
Sikur              : “Mengapa kau memanggilku! Bukankah kau mengatakan jika kau sudah tidak membutuhkan bantuanku?”
Simon                       : “Tidak sikur, aku masih membutuhkanmu. Maafkanlah aku yang tidak bisa menepati janjiku. Bantulah aku untuk kembali ke daratan.”
Sikur              : “Baiklah aku akan membantumu, dengan syarat kau tidak akan pelit dan mengulangi perbuatanmu lagi!”
Simon                        : “Iya sikur, aku akan selalu menepati janjiku dan tidak akan pelit kepada siapapun.”

            Akhirnya sikur pun menolong simon kembali ke daratan. Simon pun menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Mereka pun akhirnya bersahabat.

Rabu, 16 September 2015

pendidikan yang membebaskan


pada dasarnya tujuan pendidikan secara umum selain menciptakan manusia yang berkualitas juga berfungsi untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan. Dapat dimaklumi. Sebab, dengan rendahnya kualitas suatu bangsa identik dengan menyebarnya kebodohan yang akan melahirkan kemiskinan dari berbagai dimensi, baik kemiskinan secara moral maupun spiritual.
Tujuan pendidikan di atas akan tercapai dengan sendirinya apabila pola pendidikan kita bersifat “membebaskan”. Dalam pandangan penulis sudah cukup lama pendidikan kita terkungkung dengan berbagai pemaksaan yang ‘menciderai’ tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Memaksakan sebuah kurikulum secara nasioanal dengan mengabaikan kemampuan dan karakteristik yang berbeda di setiap daerah merupakan contoh lain dampak buruk kebijakan pendidikan nasional yang sifatnya membelenggu kebebasan.
Selain terpasung dengan kebijakan tadi, dalam dunia pendidikan sendiri kenyatannya kita belum mampu melepaskan 5 (lima) rantai yang memasung kebebasan kita, baik secara kelembagaan maupun secara personal.
Pertama, Bebas dari diskriminasi
Sudah menjadi rahasia umum diskriminasi masih ada dalam dunia pendidikan kita. Contohnya perlakuan yang beda dari pemerintah terhadap sekolah negeri dan swasta. Terutama dalam hal kesejahteraan guru dan alokasi bantuan atau penghargaan lainnya. Walau fungsi dan tanggungjawab mereka sama, nyatanya dari tiga komponen tadi pemerintah lebih memprioritaskan sekolah negeri atau mereka yang berstatus PNS.
Diskriminasi juga terjadi pada anak didik yang kesulitan masuk sekolah berstatus eks RSBI karena minimnya biaya. Pola penyekatan berbau status sosial seperti ini masih dilestarikan sampai sekarang.
Kedua, Bebas dari rasa takut
Adakah bawahan yang punya keberanian menggugat atasannya? Guru menggugat kepala sekolah yang sering menyelewengkan misalnya dana BOS atau komite? Kepala sekolah melaporkan oknum dinas pendidikan yang menggerogoti dana DAK, blockgrand atau hibah? Mustahil, rasa takut dipecat mengalahkan rasa takut hilangnya martabat selaku pendidik.
Ketiga, Bebas dari kekerasan verbal
Seberapa sering kita selaku pendidik menyebut anak didik kita “Bodoh, IQ Jongkok, Pembohong, Pencuri”, dan ucapan menghakimi lainnya? Sadarkah kita bahwa ucapan-ucapan tersebut telah melukai perasaan mereka dan selalu diingat menjelang tidur? Tanpa kita sadari, mereka akan mengingat semua itu sehingga menghasilkan mimpi-mimpi buruk bagi masa depannya. Bila kita belum membebaskan kelakuan seperti itu jangan harap kita menciptakan insan-insan yang berkarakter mulia di kemudian hari.
Keempat, Bebas dari politisasi
Dalam momen tertentu, dunia pendidikan juga dipasung oleh perang kepentingan bagi mereka yang haus kekuasaan. Tak heran bila mereka sering menyambangi institusi pendidikan untuk meraih dukungan, lengkap dengan berbagai bantuan. Disini saja dunia pendidikan terpasung oleh kepentingan praktis.
Contoh paling banyak terjadi dalam pengelolaan pesantren yang banyak mengandalkan bantuan dari donatur selain membiayai sendiri dengan berbagai amal usaha mereka. Terutama dari donatur yang terlibat politik secara praktis. Dalam berbagai kasus, kalangan pesantren seringkali mengundang calon-calon tertentu demi mengembangkan pesantren mereka. Padahal kalau dipikir, yang terpilih nantinya paling lama dua periode. Sedangkan usia pesantren sendiri mungkin puluhan kali lipat dari masa jabatan mereka.
Tetapi menggadaikan nama baik pendidikan tetap dilakukan dengan dalih, siapa saja yang datang kita terima, soal milih urusan nurani. Di sini dunia pesantren seperti menjadi ajang bagi pembodohan publik dan membelenggu semua penghuninya untuk bebas merefleksikan diri.